29 Desember 2009

Lelaki Sejati



 Ini kisah nyata. Benar-benar terjadi di atas muka bumi. Telah ditulis dengan tinta emas oleh banyak sejarahwan dalam buku-buku mereka. Sebuah kisah nyata tentang lelaki-lelaki sejati di masa Umar bin Khattab ra.

Dimasa Kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seorang pemuda yang mengarungi padang pasir untuk menunaikan umrah di Tanah Suci. Pemuda itu tiba di sebuah oasis di pinggir sebuah permukiman penduduk. Ia berhenti dan istirahat.  Karena kelelahan pemuda itu tertidur. Ketika pemuda itu tidur , tali pengikat untanya lepas. Dan unta itu, tanpa sepengetahuan pemuda berjalan mencari makan, karena kelaparan.Unta itu masuk kesebuah kebun yang suburtak jauh dari tempat itu. Penjaga kebun itu adalah seorang kakek. Unta itu tak ayal lagi. Karena kelaparan, memakan dan merusak tanaman kebun itu.

Sang kakek berusaha mengusir unta itu. Tapi sang unta itu tidak mau beranjak dari tempatnya.  Karena panik dan takut dimarahi tuannya, sang kakek memukul unta itu.Dan atas kehendak Allah,  unta itu mati.
Sang kakek semakin panik dan cemas,  apalagi pemuda pemilik unta itu terbangun dan mendapati untanya  telah mati. Karena tidak ada orang lain selain kakek itu di dekat bangkai unta, pemuda itu berprasangka bahwa kakek  tua itulah yang membunuh untanya. Dan kaket itu mengakuinya setelah  sang pemuda mengintrogasinya.

Seketika itu sang pemuda marah besar dan  gelap mata. Ia memukul kakek itu dengan pemukul yang digunakan  untuk memukuli untanya. Dan kakek itu tewas.

Pemuda itu sangat panik dan menyesal ketika mengetahui kekhilafannya. Ia tidak berniat membunuh kakek itu,  hanya marah besar. Tiba-tiba datanglah dua pemuda yang tak lain anak sikakek .  Mereka terkejut
melihat ayahnya mati dan ditempat itu hanya ada si pemuda.  Akhirnya tahulah kedua anak kakek itu,bahwa ayahnya dibunuh  oleh sipemuda itu. Mereka lalu menangkap si pemuda dan menyeretnya kehadapan Umar bin Khattab untuk  diadili.

Sang pemuda mengakui perbuatannya dan Umar pun menjatuhi hukuman mati ( Qishash) untuk pemuda itu. Namun, sang  pemuda minta penangguhan eksekusi hukuman, karena ia harus memberi tahu  keluarganya dan
menyelesaikan utangnya yang belum tuntas dikampungnya.  Umar pun bersedia mengabulkan permintaaan pemuda itu dengan syarat  ada yang bersedia menjadi penjamin  pemuda itu.

Pemuda itu cemas dan bingung. Siapa yang mau jadi penjaminnya? ia tidak punya kenalan dan kerabat didaerah itu. Bagaimana mungkin akan ada orang yang bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk menjadi penjaminnya. Tiba-tiba ada orang lelaki maju dan berkata kepada Umar, " Wahai Amirul Mu'minin, saya bersedia menjamin pemuda ini."  Umar kaget, Ia menatap tajam lelaki itu yang tak lain adalah Abu Dzar Al Ghiffari ra. Umar berkata dengan nada serius, " Abu Dzar, sadarkah kamu dengan resiko kesediaan mu menjadi penjamin pemuda ini?"

Dengan tegas Abu Dzar menjawab,' Ya saya sadar. Saya siap menanggung resikonya."
Umar lalu berkata kepada pemuda itu," Hai anak muda kau telah memiliki penjamin. Sekarang Pulanglah.  Selesaikan urusanmu dan segera kembalilah kesini untuk mempertanggung  jawabkan perbuatanmu."

Pada hari yang telah ditentukan, masyarakat sudah berkumpul di lokasi pelaksanaan eksekusi hukuman Qishash, Abu Dzar.  Hari semakin panas, siang semakin terik, dan pemuda itu belum juga  ada tanda-tand datang. Ketika hari memasuki sore, dan pemuda itu belum  juga datang., Masyarakat riuh membicarakan kebodohan Abu Dzar yang  bersedia menjadi penjamin orang asing yang tidak dikenal.  Masyarakat juga cemas, jika sampai matahari tenggelam dan pemuda itu  belum juga datang, maka Abu Dzar harus menggantikan pemuda itu untuk  dipancung.

Namun, Abu Dzar tetap tenang. Dengan rasa tawakal yang tinggi kepada Allah ia menunggu detik2 matahari semakin  dekat keperaduannya. Dan matahari tenggelam, pemuda itu belum datang.  Maka eksekusi harus
dijalankan. Dengan tenang Abu Dzar maju ketempat  eksekusi. Algojo disiapkan. Banyak yang menangis melihata  Abu Dzar siap dihukum mati untuk dosa yang  tidak dilakukannya.

Dan, ketika algojo sudah mengangkat tangannya dengan pedang terhunus siap ditebaskan ke leher Abu Dzar, seorang penduduk berteriak.  Ia melihat di kejahuan ada bayangan dan kepulan debu. Ada yang datang.
Ia meminta ditunggu sebentar sampai jelas siapa yang datang.  Semua menoleh kebayangan itu termasuk Umar bin Khatab ra.  Umar minta agar yang datang  ditunggu dulu.

Bayangan itu semakin dekat. Dan ternyata yang datang adalah pemuda itu untuk memenuhi tanggung jawabnya.  Semua orang berdecak takjub dan haru. Bisa saja pemuda itu melarikan diri dari hukuman mati.  Tapi ia tetap datang. Dengan napas terengah-engah pemuda itu minta maaf  atas keterlambatannya karena ada halangan dijalan. Karena kagum  pada kejujuran pemuda itu, Umar bertanya," Wahai pemuda, aku kagum padamu.Kenapa engkau memilih datang padahal kau bisa saja lari dari  hukuman mati?'

Pemuda itu menjawab,: Wahai amirul Mu'min, alasanya sederhana saja.
Aku tidak mau ada yang mengatakan bahwa tidak ada lagi  lelaki-lelaki sejati dikalangan umat muslim yang dengan ksatria  berani mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ia juga bagaimana mungkin  saya
tega membiarkan orang lain tidak bersalah yang rela  menjadi penjaminku mati  karena perbuatanku."

Lalu umar menoleh kepada Abu Dzar dan bertanya, "Dan kamu Abu Dzar, apa yang membuatmu yakin untuk menjadi penjamin pemuda  asing ini dan kamu siap menggantikan dirinya untuk dihukum mati jika  dia tidak datang?"

Abu Dzar menjawab," aku melakukan ini agar tidak ada yang mengatakan bahwa tidak ada lelaki sejati dikalangan umat islam  yang bersedia menolong saudaranya yang membutuhkan pertolongan. AKu  tidak merasa rugi di hadapan Allah. Kalau pemuda itu tidak datang  dan aku harus mati menggantikannya, kematianku syahid di jalan Allah,  karena aku memang  tidak bersalah."

Umar bin Khatab ra diliputi rasa kagum dan haru. Dia lalu memutuskan untuk segera mengeksekusi pemuda itu sebelum waktu  salat mahgrib habis. Tiba-tiba ada yang berteriak" Tunggu wahai  amirul mu'min, bolehkan kami minta agar pemuda ini dibebskan dari  hukuman mati?!

yang berteriak itu adalah dua pemuda anak kakek  yang tebunuh itu. Umar menjawab," Apa yang membuat kalian minta  pembatalan hukuman ini?"

Mereka menjawab," sungguh kami kagum dengan dua lelaki sejati ini izinkan kami memafkan pemuda yang saleh yang jujur ini.  kami tidak ingin ada yang mengatakan bahwa dikalangan umat islam tiada  lelaki
sejati yang memaafkan kesalahan.  Bukankah Al'quran membolehkan bagi ahli waris untuk memberi maaf dan membatalkan  Qishash pada seorang yang melakukan pembunuhan? kami rasa pemuda saleh ini pantas untuk kami maafkan."

Seketika gemuruh takbir dan tahmid berkumandang. Seluruh masyarakat yang menyaksikan peristiwa itu takjub  dengan mata berkaca-kaca. Mereka terharu menyaksikan tingginya ahlak  dalam jiwa lelaki-lelaki
sejati yang  berjiwa ksatria itu.

Setiap kali teringat kisah nyata ini, saya sering bertanya-tanya masih adakah lelaki-lelaki sejati berjiwa  ksatria di negeri ini? Semoga masih ada, sebab sejarah menulis bahwa  bangsa yang besar adalah bangsa yang
dihuni oleh lelaki-lelaki sejati bukan  para pecundang dan pengecut.

Besarnya suatu bangsa tidak dilihat dari jumlah penduduknya tapi dilihat dari jumlah manusia-manusia berjiwa  ksatria dan berahlak mulia. Manusia-manusia berkarakter dan berjiwa besar.  Semoga mereka masih ada di indonesia.  AMin!

sumber: tidak diketahui

27 Desember 2009

Belajar Dari Wong Fei Hung (Faisal Hussein Wong)




Selama ini kita hanya mengenal Wong Fei Hung sebagai jagoan Kung fu dalam film Once Upon A Time in China. Dalam film itu, karakter Wong Fei Hung diperankan oleh aktor terkenal Hong Kong, Jet Li. Namun siapakah sebenarnya Wong Fei Hung?
Wong Fei Hung adalah seorang Ulama, Ahli Pengobatan, dan Ahli Beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China oleh pemerintah China. Namun Pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan Komunis di China.
Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.

Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong). Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.

Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.

Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa memedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih.

Secara rahasia, keluarga Wong terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan pemerintahan Dinasti Ch’in yang korup dan penindas. Dinasti Ch’in ialah Dinasti yang merubuhkan kekuasaan Dinasti Yuan yang memerintah sebelumnya. Dinasti Yuan ini dikenal sebagai satu-satunya Dinasti Kaisar Cina yang anggota keluarganya banyak yang memeluk agama Islam.

Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan Jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang legendaris. Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi. Hung Hei-Kwun adalah seorang pendekar Shaolin yang lolos dari peristiwa pembakaran dan pembantaian oleh pemerintahan Dinasti Ch’in pada 1734.

Hung Hei-Kwun ini adalah pemimpin pemberontakan bersejarah yang hampir mengalahkan dinasti penjajah Ch’in yang datang dari Manchuria (sekarang kita mengenalnya sebagai Korea). Jika saja pemerintah Ch’in tidak meminta bantuan pasukan-pasukan bersenjata bangsa asing (Rusia, Inggris, Jepang), pemberontakan pimpinan Hung Hei-Kwun itu niscaya akan berhasil mengusir pendudukan Dinasti Ch’in.

Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju. Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan Jurus Cakar Macan dan Jurus Sembilan Pukulan Khusus. Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras.

Dalam kehidupan keluarga, Allah banyak mengujinya dengan berbagai cobaan. Seorang anaknya terbunuh dalam suatu insiden perkelahian dengan mafia Canton. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek. Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya.

Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas) yang tidak pernah gentar membela kehormatan mereka. Siapapun dan berapapun jumlah orang yang menindas orang miskin, akan dilawannya dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya. Wong Fei-Hung wafat dengan meninggalkan nama harum yang membuatnya dikenal sebagai manusia yang hidup mulia, salah satu pilihan hidup yang diberikan Allah kepada seorang muslim selain mati Syahid. Semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Allah Swt dan semoga segala kebaikannya menjadi teladan bagi kita, generasi muslim yang hidup setelahnya. Amiin.


10 Desember 2009

Belajar Dari Pensil





Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat.

"Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang aku?"


Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya, "Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai."


"Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti" ujar si nenek lagi.

Mendengar jawab ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai.

"Tapi nek sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya." Ujar si cucu.

Si nenek kemudian menjawab, "Itu semua tergantung bagaimana kamu melihat pensil ini."


"Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini."


Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.


"Kualitas pertama, pensil mengingatkan kamu kalo kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya".


"Kualitas kedua, dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik".


"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar".


"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu".


"Kualitas kelima, adalah sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan".