Semoga kata yang terserak bisa menjadi secercah cahaya bagi jiwa yang haus makna, dan rentetan kisah bisa menjadi nasihat bagi para pencari kebenaran. Semoga persembahan kecil ini bisa menjadi inspirasi bagi insan yang sedang tumbuh bersiap dan senantiasa berbenah bagi kehidupan yang lebih baik.
29 September 2009
Belajar Dari Soichiro Honda
Soichiro Honda bukan berasal dari keluarga kaya. Ia tidak memiliki otak yang jenius layaknya Einstein. Wajahnya pun tidak secemerlang Keanu Reeves. Bahkan, ia tidak pernah menyandang gelar insinyur. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang dan duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. Namun, ia memiliki ketekunan dan semangat yang membaja. `'Nilaiku jelek di sekolah. Tapi aku tidak bersedih, karena duniaku di sekitar mesin, motor, dan sepeda,'' tuturnya.
Tampaknya, kecintaan Honda pada dunia mesin diwarisi dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun tempat tinggalnya di Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah. Ayahnya seringkali melibatkan dirinya saat bermain-main di bengkel. Seringkali, Honda diberi catut (kakak tua) oleh ayahnya untuk mencabut paku.
Honda juga sering bermain di tempat penggilingan padi. Di sana, ia sering mengamati mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Untuk "hobi"-nya itu, ia dapat berdiam diri berjam-jam. Memang, sejak awal, Honda menunjukkan keunikan tersendiri dibandingkan teman-teman sebayanya yang lebih banyak menghabiskan waktu bermain penuh suka cita. Hal itu ditunjukkan dengan kegiatan nekadnya yang bersepeda sejauh 10 mil pada usia 8 tahun. Hal itu dilakukannya hanya karena ingin menyaksikan pesawat terbang.
Bersepeda memang menjadi salah satu hobi Honda ketika kanak-kanak. Hasilnya, ia berhasil menciptakan sebuah "sepeda pancal" dengan model rem kaki pada umur 12 tahun. Sampai saat itu, belum muncul impian menjadi usahawan otomotif di benaknya. Tampaknya, ia sadar bahwa dirinya berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah dan tidak tampan sehingga membuatnya selalu rendah diri.
Bekerja di bengkel mesin
Di usianya yang ke-15, Honda pindah ke kota untuk bekerja di Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan dan setiap oli yang bocor tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, Saka Kibara mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu dan mengangkatnya menjadi kepala cabang di sana.
Di Hamamatsu, prestasi kerja Honda kian cemerlang. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat. Bahkan, tak jarang jam kerjanya hingga larut malam dan terkadang sampai subuh. Hebatnya, walau terus bekerja lembur, otak kreatifnya tetap berjalan.
Kekreatifannya membuahkan fenomena. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu. Akibatnya, roda tersebut tidak baik untuk kepentingan meredam goncangan. Menyadari masalah tersebut, Honda punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya, luar biasa. Ruji-ruji logamnya laku keras dan diekspor ke seluruh dunia.
Memutuskan untuk membuka bisnis
Pada usia 30 tahun, Honda menandatangani patennya yang pertama, yaitu roda ruji. Setelah itu, Honda pun ingin melepaskan diri dari bosnya dan membuat usaha bengkel sendiri. Mulai saat itu, ia berpikir tentang spesialisasi yang akan dipilihnya. Otaknya pun membimbingnya kepada pembuatan ring piston dan menawarkannya kepada sejumlah pabrikan otomotif.
Kegagalan pertama
Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring piston buatannya tidak lentur dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu dan menyesalkan dirinya keluar dari bengkel milik Saka Kibara. Akibat kegagalan itu, Honda pun jatuh sakit dan cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Namun, soal ring pinston belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia pun mengambil kuliah untuk menambah pengetahuannya tentang mesin.
Siang hari, setelah pulang kuliah, Honda langsung mempraktikkan pengetahuan yang baru diperolehnya di bengkel. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia mulai jarang mengikuti kuliah. `'Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya, '' ujar Honda. Kepada rektornya, ia menjelaskan bahwa tujuan kuliahnya bukan mencari ijazah, melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan dan Honda pun didepak dari kampusnya.
Hanya saja, dikeluarkan dari perguruan tinggi bukan akhir segalanya bagi Honda. Berkat kerja kerasnya, desain ring pinston-nya diterima pihak Toyota yang langsung memberikan kontrak. Honda pun berniat mendirikan pabrik dan impiannya untuk mendirikan pabrik mesin pun serasa kian dekat di pelupuk mata.
Kegagalan kedua
Malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana kepada masyarakat. Namun, bukan Honda kalau menghadapi kegagalan lalu menyerah pasrah. Dia pun nekad mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabriknya.
Kegagalan ketiga
Namun, lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar, bahkan kejadian itu menimpanya hingga dua kali.
Honda tidak pernah patah semangat. Dia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat untuk digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik.
Kegagalan keempat
Lagi-lagi, penderitaan sepertinya belum akan berakhir. Tanpa diduga, gempa bumi meletus dan menghancurkan pabrik Honda. Ia pun pun memutuskan menjual pabrik ring pinston-nya tersebut ke Toyota.
Kegagalan kelima
Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Ada yang mengatakan bahwa ia pernah mencoba untuk mengikuti kursus piano dan menjadi musisi. Sayang, semuanya gagal.
Kegagalan keenam
Akhirnya, Jepang mengalami kelangkaan bahan bakar pada tahun 1947. Pada saat itu kondisi ekonomi Jepang porak poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya akibat krisis moneter tersebut. Padahal dia ingin menjual mobil itu untuk membeli makanan bagi keluarganya.
Pintu sukses pun terbuka
Dalam keadaan terdesak, Honda memutuskan untuk refreshing dengan kembali bermain-main bersama "sepeda pancal"-nya. Kecintaannya pada dunia mesin memang terbawa dalam alam pikirannya, di mana pun ia berada. Dia pun memasang motor kecil pada sepeda itu. Siapa sangka, sepeda motor—cikal bakal lahirnya mobil Honda—itu diminati para tetangganya.
Honda pun memproduksi sepeda motornya. Para tetangga dan kerabatnya berbondong-bondong memesan sehingga ia kehabisan stok. Seakan tak pernah kalah dengan kebangkrutan yang menghantamnya berkali-kali, Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobilnya menjadi raja jalanan dunia.
Semasa hidupnya, Honda selalu menyatakan agar jangan hanya melihat semua keberhasilanya di dunia industri otomotif. Namun, lihat pula segala kegagalan yang pernah dialaminya. `'Banyak orang yang melihat kesuksesan saya yang hanya satu persen. Sementara mereka tidak melihat sembilanpuluh sembilan persen kegagalan saya." Begitulah tutur Honda kurang-lebihnya. Nasihatnya yang lain seputar kegagalan adalah, "Ketika Anda mengalami kegagalan, segeralah untuk mulai bermimpi kembali. Dan, mimpikanlah mimpi-mimpi yang baru."
Dikutip dari Buku "7 Kunci Sukses Bisnis Tahan Krisis"
Karya: Bambang Suharno dan Rochim Armando
06 September 2009
KISAH PIPA DAN EMBER
Di sebuah desa terjadi krisis air sumber mata air terletak di gunung (yang tentunya lebih tinggi dari desa itu) tetapi dipisahkan oleh sebuah lembah sehingga air tidak bisa mengalir ke desa tersebut. Pak kepala desa mengadakan sayembara untuk mengalirkan air dari gunung ke desa tersebut dengan ember (Imbalan tiap embernya $1). Ternyata ada dua orang yang berminat dan menerima tawaran itu yaitu si Pipo dan Embro. Mereka adalah dua orang pemuda miskin yang rajin dan ingin merubah dirinya untuk menjadi kaya. Dan kedua pemuda itu setuju dan mulai mengerjakannya pada pagi harinya.
Mulanya mereka mengerjakan pekerjaan yang sama dengan bersemangat, tetapi setelah berbulan-bulan mereka merasa bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja dan penghasilan yang tidak lebih dari hitungan ember itu tadi. Mereka mulai berkreasi dan kita lihat apa yang mereka lakukan :
Embro
Embro berfikir jika dia bisa membawa ember lebih banyak tentunya dia akan mendapatkan uang yang lebih banyak, maka ia berlatih "fitness" dan berusaha membawa dua ember tiap kali mengambil air. Kemudian ia mengubah ukuran embernya yang isinya dua kali lebih besar dari ukuran sebelumnya hingga sekali mengambil air ia bisa menghasilkan empat ember. Namun, apa yang terjadi? walaupun badan Embro semakin berotot dan dia banyak menghasilkan banyak uang (4 x dari yang dihasilkan oleh Pipo pada waktu itu) tetapi ia banyak menghabiskan energinya untuk mengangkat ember, membelanjakan uangnya untuk memulihkan kondisi badannya dan menambah supply makanan untuk mendukung pekerjaannya.
Bahkan di malam harinya ia sering meminum minuman keras sebagai pelampiasan tekanan atas kerja kerasnya sehari penuh. Akhirnya setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun badan Embro pun semakin tua dan lemah sehingga Ia mengurangi porsi kerjanya dan malangnya ia jatuh sakit.
Embro kehilangan pekerjaannya dan penghasilannya hingga ia membutuhkan pertolongan orang lain untuk menyambung hidupnya.
Pipo
Pada awalnya Pipo melakukan hal yang sama dengan Embro dan mencari cara yang lebih baik untuk menambah penghasilannya, tetapi ia tetap mengerjakan pekerjaan itu secara wajar. Namun, Pipo lebih tertarik untuk membangun jaringan pipa yang menghubungkan antara sumber mata-air di gunung dan desanya.
Ia menyisakan waktu luang dan penghasilannya untuk membangun jaringan pipa meter demi meter dan peralatan penyangga serta sebuah dam yang bisa menampung seluruh air yang berhasil dialirkan. (Dimana Embro hanya beristirahat untuk memulihkan kondisi badannya) Pipo bercita-cita bisa menjadi penyalur air di desanya yang bisa memenuhi seluruh warga desa tersebut (Cita-cita yang mulia bukan?) walaupun banyak penduduk sekitar yang mencemooh termasuk si Embro.
Hingga berbulan-bulan dan bertahun-tahun akhirnya dengan kerja yang tidak hanya keras, tetapi cerdas dan efektif Pipo berhasil membangun jaringan pipa air dan dam dengan nama "Pipo Corporation" yang menyediakan supply air dengan harga yang murah dan jumlah yang tak terbatas.
Akhirnya Pipo pun berhenti dari pekerjaan biasanya dan menerima uang hasil usahanya tanpa ia bersusah payah yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang Embro dapatkan.
Pipo telah berhenti bekerja dan ia tetap menerima uang dari keuntungan perusahaan yang ia bangun, ia bisa pergi berlibur ke luar negri, bisa punya rumah bagus dan yang utama bisa memberi manfaat kepada seluruh desa bahkan ke desa sekitarnya.
Nah dalam dunia nyata ini sejujurnya kita juga menemukan kenyataan yang tidak jauh dari cerita tersebut dimana banyak orang yang sibuk dan menghabiskan waktu efektifnya hanya untuk melakukan pekerjaan yang kurang efektif sehingga mendapatkan hasil yang sesuai pula.
Kita bisa melihat kisah bagaimana Bill Gates (Mahasiswa Harvard Univ. yang tidak menyelesaikan studinya) membangun Microsoft Corporation dengan sebuah ide hanya ingin menciptakan Operating System (software, Windows) untuk IBM-PC yang bisa dipakai oleh berbagai macam platform dan macam komputer sehingga dari situ diharapkan penggunanya bisa lebih mudah menggunakannya (user-friendly), integritas PC yang tergabung dalam Internet Explorer serta mobile operating systemnya, WindowsCE (Siapa yang nggak kenal DOS, Windows, Internet Explorer?) dan yang membanggakan hampir seluruh saham Microsoft Corporation dimilikinya hingga ia dikenal sebagai orang terkaya di dunia.
Kita juga masih ingat Oprah Winfley (Seorang Presenter wanita ternama di USA) yang berhasil membangun HARPO Corporation, hingga profesi presenter yang semula menjadi tulang punggung penghasilannya kini menjadi kegiatan sampingannya.
Juga Ustadz Abdullah Gymnastiar yang begitu hebatnya mengambangkan MQ Corporation yang memiliki lebih dari 17 anak perusahaan. Ia berhasil mengurusnya dan tanpa mengganggu aktivitas dakwahnya.
Bagaimana dengan kita?
Pernahkah kita ingin merasakan seperti mereka?
Sudahkah kita berniat dan berusaha untuk menjadi seperti mereka ataupun lebih baik lagi?
Pernahkah kita memberanikan diri untuk melakukan seperti apa yang mereka lakukan?
02 September 2009
MINDER BERAT
Andrew Elliot merasa minder berat, karena walaupun sudah lebih dari 25 tahun lulus dari univerversitas bergengsi Harvard, tetapi kenyataannya tetap saja belum bisa memiliki apapun juga yang bisa ia banggakan. Hal inilah yang membuat dia jadi takut setengah mati untuk menghadiri pesta reuni teman-teman sekelasnya.
Betapa tidak, matan teman sekamarnya saja sudah menjadi calon menteri luar negeri, yang satunya jadi dekan, bahkan seorang lagi yang dahulunya dicemohkan dan diremehkan telah mencapai puncak prestari sebagai pemain pianis yang kesohor. Hal inilah yang membuat ia merasa gagal total dan minder berat untuk menghadiri acara pesta reuni tersebut. Bahkan kalau ia jujur, ia merasa iri melihat kesuksesan dari teman-teman sekelasnya.
Hal tersebut diatas inilah yang diceritakan dalam Novel -The Class- hasil karya dari Erich Segal. Walaupun demikian di akhir cerita, akhirnya ia mengetahui bahwa apa yang ia lihat diluarnya tidaklah sebaik dan seindah seperti yang diduga oleh kebanyakan orang. Ternyata mereka juga memiliki riwayat yang tragis maupun kegagalan-kegagalan lainnya yang tidak terlihat oleh orang luar. Masalahnya yang kita lihat hanya mobil mewah maupun gedungnya saja yang mentereng maupun karier jabatannya.
Misalnya dalam kehidupan sang pemain pianis; kehidupannya tidaklah semanis seperti kariernya. Ia kecanduan obat-obatan, bahkan akhirnya salah satu tangannya mengalami disfungsi motoris sehingga tidak bisa ia kendalikan lagi. Sedangkan temannya yang menjadi politikus di gedung putih tidak mampu mempertahankan perkawinannya sehingga akhirnya ia bunuh diri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa secara langsung atau tidak langsung, kita sendiri sering mengajukan pertanyaan: Kenapa ia lebih sukses di dalam kehidupannya daripada saya? Bahkan seringkali pula kita disindir agar mau melihat keatas "Lihat tuh tetangga kita; mereka sudah punya mobil BMW, sedang Loe masih tetap azah naik angkot! Apakah kagak malu!"
Disamping itu hampir setiap jam kita di jejali dengan film-film sinetron dimana kehidupan glamour dan mewah sudah merupakan thema utama dari film-film tersebut. Kesuksesan manusia sekarang ini hanya diukur melalui harta atau jabatan yang mereka miliki. Dimana Loe kere dan tidak memiliki jabatan berarti Loe ini Mr Nobody!
Memang sudah merupakan fakta nyata, bahwa pada saat kita terpuruk, secara langsung atau tidak langsung akan timbul pertanyaan: "Kenapa hidup Gw jadi begini? Dimana letak kesalahan Gw? Kenapa Tuhan lebih memberkati orang kapir dan para koruptor daripada Gw? Sehingga boro-boro bisa beli Nasi Goreng udah bisa makan siang Nasi GOCENG (lim ribu) azah udah bagus!
Beda dengan Prabowo Subianto dimana konon nilai harga kudanya saja sudah mencapai tiga miliar per ekor. Ia memiliki 84 ekor kuda silahkan hitung sendiri, baru nilai harga kudanya saja sudah berapa? (sumber Kompas) Sedang Gw terkadang untuk biaya angkot tiga ribu saja kagak punya.
Pertama perlu diketahui walaupun kita bisa mengetahui, bahwa harta kekayaan dari Prabowo itu Rp 1,7 triliun, hal ini tetap tidak akan bisa merubah nasib kita. Uang Prabowo bukanlah uang saya, nasib dia bukanlah nasib saya. Maka dari itu saya selalu berusaha untuk mensyukuri dengan apa yang saya miliki dan dapatkan.
Berkat dan anugerah yang paling indah yang saya dapatkan setiap hari ialah dimana saya masih diberi kesempatan untuk dapat menikmati matahari dipagi hari. Berapa juta orang di dunia ini yang setiap harinya berdoa dan mengharapkan agar mereka masih bisa diberikan kesempatan untuk hidup satu hari lebih lama lagi, karena mereka berada dalam keadaan sekarat! Percayalah berkat ini ada jauh lebih indah dan tidak bisa dinilai dengan uang maupun jabatan sehebat dan setinggi apapun juga.
*) Mang Ucup
Langganan:
Postingan (Atom)